RI-SATU.id, Jakarta – Nani Nurani (84) masih mengingat jelas masa mudanya ketika dipercaya menjadi pagar ayu di Istana Negara Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, pada awal 1960-an.
Dari seorang gadis desa yang mendampingi tamu negara, ia kemudian didapuk sebagai penyanyi istana kesayangan Presiden Soekarno. Namun, nasibnya berubah drastis pada 1965.
Nani ditangkap dan menjadi tahanan politik (tapol) karena dituding terlibat dalam peristiwa G30S/PKI, meski hingga kini tuduhan itu tak pernah terbukti.
Nani awalnya dipilih Bupati Cianjur menjadi salah satu dari 30 gadis yang bertugas sebagai pagar ayu di Istana Cipanas.
Mereka mendampingi tamu kehormatan Bung Karno. "Misalnya, mereka (tamu) enggak mengerti makanan yang dihidangkan apa, kita menjelaskan," ucap Nani saat diwawancarai Kompas.com di kediamannya daerah Koja, Jakarta Utara, Rabu (1/10/2025).
Nani mendapat tugas khusus, yaitu menyajikan makanan dan minuman langsung untuk presiden.
Cerita Nani Nurani Terbebas dari Stigma PKI
Mulai bernyanyi
Seiring waktu, bakat Nani bernyanyi terungkap. Ia sering diminta tampil menghibur tamu negara, bahkan menjadi penyanyi favorit Bung Karno dengan lagu klasik Sunda Degung Budak Cerik.
Nani diketahui memiliki suara emas usai Insinyur Djuanda Kartawidjaja yang saat itu menjabat sebagai menteri datang ke istana. "Karena ada Pak Djuanda, saya bilang ke kepala istana, 'Bung, boleh enggak saya di luar (istana), jangan di dalam mulu bosan," ujar Nani.
Upaya Meluruskan Sejarah
Di usianya yang masih 20 tahun saat itu, Nani bisa menyegarkan matanya melihat diplomat-diplomat tampan di luar istana. Sebab, selama di dalam istana, Nani lebih sering bertemu dengan menteri-menteri yang usianya sudah lanjut.
Akhirnya, Nani diperbolehkan untuk berkeliaran di luar. Ketika asik berbaur di luar istana, hujan besar pun tiba. Nani kemudian berteduh di sekitar pavilion sambil menyantap kudapan.
Coba Realistis "Terus Dandim Cianjur bilang, 'enaknya ada yang nyanyi nih'. Lalu, semuanya bilang, 'Eceu Nani'. Tiba-tiba dari dalam istana dipanggil. Katanya kasihan Pak Djuanda kesepian katanya," ucap Nani.
Sebab, saat itu, Djuanda tidak bisa pulang ke Jakarta karena hujan besar membuat kawasan Ciranjang, Cianjur, Jawa Barat, longsor. Di hadapan Djuanda, Nani disuruh oleh rekan-rekannya menunjukan suara emasnya.
"Ya sudah saya nyanyi. Saat mau duduk, sudah kebiasaan melipat kaki. Pak Djuanda lihat, dia nanya 'Nani bisa nari juga, ya?' saya jawab, 'iya'. Dari situ udah disuruh menyanyi dan menari," ujar Nani.
Sejak itu pula, Nani menjadi penyanyi kebanggaan Bung Karno yang selalu diminta tampil di Istana Cipanas ketika tamu kehormatan datang.
Biasanya, kata Nani, Bung Karno selalu meminta dirinya untuk menyanyikan lagu klasik Sunda yang berjudul 'Degung Budak Cerik'. Perjalanan Nani menjadi penyanyi istana berlangsung sejak 1962 hingga 1965 sebelum akhirnya ia menjadi tapol G30S PKI.
Diundang PKI
Popularitas Nani membuat dirinya diundang tampil pada acara ulang tahun PKI di Cianjur, Juni 1965. Saat itu, PKI belum menjadi organisasi terlarang.
"Terus diminta nyanyi dan nari di tempat mereka, karena saya kerja di Dinas Kebudayaan, kemudian saya juga penyanyi dan penari, ya sudah saya menyanyi dan menari," ucap Nani.
Setelah mengisi acara tersebut, Nani diajak kakaknya untuk pindah ke Jakarta.
Namun, setelah pecah peristiwa G30S pada 30 September 1965, keterlibatannya di acara itu membuat ia dicurigai mendukung gerakan tersebut.
Ditambah lagi, ketika GS30 PKI terjadi, Nani tengah berada di Jakarta bersama kakaknya.
"Jadi tuduhannya ibu pindah ke Jakarta ke Lubang Buaya, terus nyanyi, nari, mencungkil mata jenderal. Padahal saya juga enggak tahu, awalnya gimana bisa heboh begitu,” tutur Nani.
Mendengar dirinya dituding terlibat G30S PKI, Nani berniat pulang ke Cianjur untuk memberikan penjelasan. Lantaran kondisi masih panas, Nani dilarang pulang ke Cianjur oleh kakaknya.
Bekerja di Jakarta
Setelah peristiwa 1965, Nani mendapat tawaran bekerja di PT Takari melalui surat dari Letkol Atmoko.
Saat itu, Direktur Utama PT Takari adalah Suryo Sumarno. Perusahaan ini dikelola oleh Kodam, Kejaksaan Agung, dan Veteran, sementara Suryo berasal dari kalangan Veteran.
"Pada 1965, ibu diminta kerja dikirimin surat sama Letkol Atmoko di Takari. Takari itu Direktur Utamanya Suryo Sumarno, Takari itu dipegangnya oleh Kodam, Kejaksaan Agung, sama Veteran, nah Pak Suryo dari Veteran," jelas Nani.
Nani menerima tawaran tersebut dan menetap di Jakarta. Namun, pada 1966, kakaknya memberanikan diri pulang ke Cianjur. Sesampainya di sana, rumah keluarga mereka digerebek, dan keluarganya mendapat ancaman.
"Disangkanya saya ada, disergap, terus diancam, kalau saya tidak pulang maka ayah saya dijadikan sandera," ujar Nani.
Menghadapi situasi itu, Nani meminta bantuan Letkol Atmoko. Ia menjelaskan bahwa dirinya dituding terlibat dalam G30S PKI. Atmoko kemudian mengirim surat kepada Corps Polisi Militer (CPM) Cianjur untuk meminta bukti keterlibatan Nani.
"Karena PT Takari di bawah Kodam, kirim surat lah ke sana. Isi suratnya meminta bukti kalau emang ibu terlibat karena kan di sini yang megang Kodam, kalau emang ada bukti dan bersalah maka ibu tinggal ditangkap, eh enggak dibalas," tutur Nani.
Karena tidak ada jawaban maupun bukti, Letkol Atmoko menyarankan Nani tetap tinggal di Jakarta dan tidak pulang ke Cianjur.
Selama bekerja di PT Takari, Suryo Sumarno sama sekali tidak mengetahui tuduhan yang dialamatkan kepada Nani. Hingga akhirnya pada 1968, Suryo menanyakan latar belakang Nani. Saat itulah ia baru berani menceritakan kebenarannya.
"Pak Suryo manggil ibu, 'Nani, bapak ada yang nanya, kau itu siapa?' Ibu cerita. Dia bilang, 'oh pantas, ya, kau minta surat bebas G30S dari Koramil', ya, udah minta dikasih orang enggak ada apa-apa (tidak terbukti bersalah)," tegas Nani.
Ditangkap militer
Pada 23 Desember 1968, ketika pulang ke Cianjur, Nani ditangkap paksa oleh militer. Ia bersama ayahnya dibawa ke Gedung Ampera dan diperiksa semalaman.
Meski selalu menyangkal, ia tetap dituduh terlibat. Jaksa setempat bahkan mengaku malu karena penangkapannya ternyata salah sasaran.
"Digedor-gedor pintu, ibu teriak, 'siapa itu?' Dia bilang CPM, pas buka pintu, dua laras panjang disodorin, terus di belakang tiga orang nanya 'Sis Nani dari Istana Cipanas?' Saya jawab, 'iya'. Dia bilang, 'Ikut saya' saya minta mana suratnya," ucap Nani.
Selain itu, Nani juga meminta agar ayahnya ikut ditahan menemani dirinya. Akhirnya Nani bersama ayahnya dibawa ke Gedung Ampera di Cianjur dan disatukan bersama tahanan-tahanan politik lain yang diduga terlibat G30S PKI.
Di gedung tersebut pula, ayah Nani melihat sendiri bagaimana putrinya menjalani pemeriksaan dari pukul 22.00 WIB hingga 3.00 WIB dini hari. Dalam pemeriksaan itu, Nani tetap dituding terlibat G30S PKI.
"Saya selalu ditanya 30 September ada di mana? Karena tuduhannya kan menyilet-nyilet segala macam, saya jawab saya lagi tidur, dia (penyidik) marah menendang meja sambil bilang, 'enggak mungkin'. Enggak percaya dia," tutur Nani.
Setelah dua pekan berada di Gedung Ampera Cianjur. Jaksa pun mengaku malu dengan Nani. Jaksa menyadari bahwa Nani merupakan korban salah tangkap dan tidak terbukti terlibat dalam G30S PKI.
Namun, karena kasusnya sudah dilaporkan ke Jakarta, Nani tak bisa dibebaskan begitu saja.
"Jaksanya bilang, 'Sis Nani, kami ini malu sebenarnya sama Sis Nani, kami merasa berdosa. Andai kami tidak terlalu bangga bisa menangkap sis Nani, pasti anda bisa pulang sekarang juga dari sini, tapi karena terlalu bangga, merasa menangkap kakap, langsung lapor ke Jakarta, jadi enggak bisa apa-apa lagi'," tutur Nani.
Ia dipindah-pindahkan dari CPM Cianjur, Bogor, hingga Guntur, lalu ditahan di Penjara Perempuan Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Selama tujuh tahun hidup di balik jeruji, ia menyaksikan penyiksaan terhadap tapol perempuan, meski dirinya selamat berkat perlindungan mantan atasannya, Jenderal Suryo Sumarno.
Tujuh-tahun di balik jeruji
Nani akhirnya bebas pada 19 November 1975 karena kondisi kesehatannya memburuk.
“Saya sakit lambung, tidak bisa makan, lalu dikeluarkan begitu saja,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa penahanannya berlangsung tanpa proses pengadilan yang adil.
“Di tahun itu, Indonesia seperti tidak punya hukum. Saya dipenjara tanpa pernah terbukti bersalah,” kenang Nani.
Kini, di usianya yang senja, Nani masih menyimpan luka sejarah. Dari seorang pagar ayu istana yang kerap bernyanyi untuk Bung Karno, ia harus menjalani tujuh tahun hidup sebagai tapol karena tuduhan yang tidak pernah terbukti.